Peningkatan kualitas masyarakat adat sebagai komponen utama dalam upaya pelestarian keanekaragaman hayati

Masyarakat adat merupakan kelompok orang di wilayah tertentu yang hidup secara turun temurun dengan dasar ikatan pada asal-usul para leluhurnya. Mereka memiliki keterikatan yang kuat dengan sumber daya alam dan sistem nilai yang menentukan tingkat ekonomi, kedudukan politik, hingga status sosial. Masyarakat adat juga memiliki identitas budaya, hukum adat, hingga hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup tempat mereka berpijak.

KMAN V ( https://aman.or.id/gallery/album/kegiatan )

Namun seringkali dalam era modern saat ini, masyarakat adat rentan tersisihkan dalam urusan memelihara keanekaragaman hayati. Pihak berwenang lebih sering menugaskan orang-orang dari luar wilayah adat untuk sekedar menjalankan mekanisme modern dalam upaya pelestarian alam. Padahal, ikatan mereka dengan leluhurnya juga sejalan dengan diwariskannya budaya dan keilmuan pelestarian kawasannya.

Deputi Sekjen Asosiasi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk Ekonomi dan Dukungan Komunitas--Annas Radin Syarif, memaparkan tentang keterlibatan masyarakat adat dalam menjaga keanekaragaman hayati. Secara global, mereka diakui sebagai penjaga Bumi. Meskipun peran mereka dalam wilayah konservasi dianggap masih sangat kurang. Namun Annas tetap percaya bahwa keberadaan masyarakat adat sudah selayaknya di beri amanah sebagai penjaga utama alam dan seluruh isi keanekaragaman hayatinya.

Sampai pada 25 Juni 2024, AMAN mencatat bahwa Indonesia memiliki 2.161 komunitas masyarakat adat. Angka tersebut terdiri atas 4,57 juta orang yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Dikutip dari green network.id, sebaran masyarakat di Indonesia antara lain : Kalimantan (750 komunitas), Sulawesi (649 komunitas), Sumatera (349 komunitas), Maluku (175 komunitas), Bali dan Nusa Tenggara (139 komunitas), Papua (54 komunitas), dan Jawa (45 komunitas).

Pembangunan yang bertajuk modernisasi memang menjadi tantangan tersendiri untuk eksistensi masyarakat adat. Identitasnya yang sering dianggap orang-orang kuno telah menjadi landasan bahwa keberadaan mereka tidak penting dalam partisipasi kebijakan publik yang menyangkut wilayahnya. Fenomena tersebut bermuara pada minimnya pengakuan dan perlindungan secara hukum, menyebabkan keberadaan mereka semakin terancam. Padahal dibandingkan masyarakat akademis, mereka lebih dekat dengan objek yang ingin kita semua lindungi.

Jika menelaah Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat, sebenarnya sangat meniupkan harapan untuk menjadikan masyarakat sebagai garda terdepan untuk menjaga keanekaragaman hayati. Terlahirnya RUU tersebut telah dibahas sejak periode 2014-2019 dan disetujui dalam rapat pleno Badan Legislasi DPR pada 4 September 2020. RUU Masyarakat adat mencakup pasal yang mengatur tentang pengakuan, perlindungan, pemberdayaan, Hak Ulayat, keadilan dan kesetaraan. Namun hingga detik ini, RUU tersebut tidak kunjung disahkan.

Barangkali tidak merasa memiliki urgensi, kita dapat membuka kembali sejarah untuk memantik semangat dalam hal pentingnya regulasi masyarakat adat yang mampu meningkatkan partisipasinya. Jika kita mengacu pada the Convention on Biological Diversity (CBD) atau Konvensi Keanekaragaman Hayati yang mulai berlaku secara resmi pada tanggal 29 Desember 1993, Indonesia wajib menetapkan target kerja per sepuluh tahun untuk perlindungan keanekaragaman hayati di level nasional. Target yang tertulis dalam dokumen bernama Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) tersebut telah menyematkan bahwa perlunya penekanan pada keterlibatan dan pemberdayaan masyarakat sebagai pemeran utama dalam usaha melestarikan keanekaragaman hayati.

Bagi masyarakat adat, konservasi alam merupakan sumber kehidupan. Hal itu dibuktikan dengan hasil kesimpulan data dari Working Group ICCAs Indonesia (WGII), Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), dan Forest Watch Indonesia (FWI) bahwa 70% tutupan lahan di wilayah adat masih dalam kondisi baik. Lebih luas lagi, keberadaan masyarakat adat terbukti memiliki kontribusi dalam melestarikan 80% biodiversitas dunia dengan mekanisme kerja kearifan lokalnya yang telah turun-temurun.

Meski keberadaan masyarakat adat sangat dekat dengan keanekaragaman hayati, peran pemerintah sebagai kaum modern dan berjiwa akademis tetap harus menjadi pilar utama dalam upaya pembangunan kualitas sumber daya manusia masyarakat adat. Ekosistem pemberdayaan masyarakat yang sejatinya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian harus bisa di prioritaskan untuk para generasi baru dalam setiap komunitasnya.

Lamriana menambahkan, penting juga untuk mengakui bahwa pemberdayaan masyarakat adat bukanlah proses yang statis atau sekali jalan. Rangkaian proses yang dinamis tersebut membutuhkan komitmen jangka panjang dan kerja sama yang berkelanjutan antara berbagai pemangku kepentingan. Dengan begitu, kualitas masyarakat adat di masa yang akan datang bisa mengimbangi globalisasi yang menuntun mereka untuk terus beradaptasi demi kelestarian keanekaragaman hayati di Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Transaksi cepat dengan QRIS Cross-Border untuk kerjasama antar negara ASEAN yang lebih solid

Prospek Investasi rumah untuk Pengembangan Urban Farming di Wilayah Perkotaan melalui PT. Sarana Multigriya Finansial (Persero) dan Inveseries

Pentingnya Asuransi Perjalanan untuk keliling dunia bersama MPM Insurance